Free Flower Cursors at www.totallyfreecursors.com

Pendidikan Abad 21



Perubahan jaman atau globalisasi tidak hanya mengakibatkan perubahan pada teknologi saja, namun pendidikan pun juga mengalami perubahan. Sebagaimana sudah diketahui dalam abad ke 21 ini sudah berubah total baik masyarakat maupun dunia pendidikannya. Sekolah sudah terbentuk sejak abad ke 19 dalam rangka pengembangan pendidikan anak dan juga mendorong industrialisasi. Jadi awalnya sekolah itu dibentuk untuk mendukung pembentuk masyarakat madani dan juga industrialisasi namun sejak tahun 1989 dimana sejak Jerman sudah bersatu tiba-tiba mulai era globalisasi sampai saat ini. Dan sejak dimulainya globalisasi pasar di dunia itu mulai jadi satu sejalan dengan kapitalisme yang berjalan dan sudah dimulai di Amerika Utara, Eropa dan Amerika Timur sudah ada gejala-gejala seperti itu. Kalau negara-negara Asia belum menjadi satu karena terjadi keanekaragaman budaya dan suku, namun pada suatu saat akan terjadi seperti di negara barat. Jadi negara/pasar akan menjadi satu dan mungkin mata uang akan menjadi satu. Jadi prinsip/filosofi yang berlaku di sekolah harus ada perubahannya. Prinsip yang didasari dalam tuntutan sekolah jaman dulu yaitu industrialisasi sudah mengalami perubahan. Negara-negara maju seperti Jepang sudah tidak mengalami era indutrialisasi tapi sudah mengalami paska industirialisasi.
PERLUNYA SEKOLAH ABAD 21
Karena dunia terus berubah sedemikian cepatnya maka, sejatinya sangatlah sulit untuk memastikan gambaran sekolah seperti apa yang cocok untuk abad 21 dan sesudahnya. Hal itu disebabkan karena bahkan industri dan pekerjaan yang tersedia dan ditawarkan di masa depan hingga kini belum ada dan mungkin akan sangat berbeda dengan yang ada di masa lalu dan masa kini. Namun satu hal yang pasti, apa yang dikatakan John Dewey pada masa lalu tetap relevan dan benar hingga kini, yakni bahwa “If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future” (Gateway, 2008: 6).
Menurut beberapa pakar, banyak sekolah yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman. Sistem yang digunakan di sekolah-sekolah itu (termasuk di Indonesia) merupakan sistem yang dirancang untuk dunia agraria dan manufaktur. Sistem yang diterapkan pada sekolah-sekolah itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dunia abad 21. Berkaitan dengan itu, Schlechty (2005, xii) mengatakan, “The unfortunate fact is that our educational system is working as it was designed to work, but the way it was designed to work is not adequate to our present needs and expectations”. Sekolah-sekolah di masa lalu (sekolah konvensional) dirancang untuk membuat siswanya mengenal huruf, dapat membaca dengan baik, mengenal angka, dan kemudian mampu untuk mencapai standar akademis yang tinggi bagi para siswanya. Itu semua telah tercapai kini (Schlechty 1997, 11). Tetapi, dunia telah berubah dan terus berubah sedemikian cepatnya (fast-placed manner). Lingkungan para siswa yang ada sekarang berbeda dari lingkungan para siswa di masa lalu untuk siapa sekolah-sekolah itu dirancang. Karena itu, sekolah konvensional sudah tidak zamannya lagi.
Akibat dari lingkungan pertumbuhan anak-anak digital native yang berbeda dengan generasi yang terdahulu, maka, menurut Prensky, cara para siswa berpikir dan mengolah informasi secara fundamental berbeda sama sekali dari para pendahulunya (baca: para guru mereka). Kalau demikian adanya maka sekolah harus merevolusi diri.
Lalu pertanyaannya adalah sekolah seperti apakah yang diperlukan untuk dunia pendidikan abad 21? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sesuai dengan lingkungan pertumbuhan anak-anak era digital dan tuntutan dunia kerja di masa depan yang akan sangat berbeda dengan yang sekarang ada, maka sekolah abad 21 harus menyertakan dan memperhitungkan keahlian-keahlian abad 21 di dalam kurikulumnya demi memenuhi harapan dan kebutuhan para siswa era digital ini. Secara umum, keahlian yang harus dikuasai dan dimiliki oleh siswa era digital adalah keahlian di bidang informasi dan komunikasi, keahlian berpikir dan memecahkan masalah, keahlian interpersonal dan pengarahan diri (self- directional). Keahlian-keahlian ini sejatinya telah tercakup dalam kurikulum standar dunia pendidikan dewasa ini, namun dalam abad 21, keahlian- keahlian ini semakin jauh berkembang (meluas) dari yang ada di masa lalu.
Materi pembelajaran yang diajarkan pada abad 21 perlu dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan dari dunia abad 21; siswa harus mampu melihat keterkaitan antara apa yang mereka pelajari dengan kenyataan yang mereka lihat pada lingkungan di sekitar mereka. Siswa mesti mendapatkan dan menggunakan perangkat atau piranti-piranti yang mereka perlukan yang dapat menggambarkan lingkungan pekerjaan yang nyata agar mereka mendapatkan keahlian-keahlian yang diperlukan pada level yang tinggi sebagaimana yang diharapkan dari mereka untuk menghadapi tantangan abad 21 (Barriors: 8).
Untuk itu maka, sekolah abad 21 harus mengintegrasikan teknologi (laptop, notebook, ipad, smartboard, termasuk internet) ke dalam seluruh proses pembelajarannya. Sekolah abad 21 harus menyediakan suatu lingkungan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan sikap ingin tahunya, mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang bermanfaat untuk kehidupan siswa di masa depan dan memungkinkan mereka untuk mempraktekan kemampuan untuk bekerja secara kolaboratif di dalam tim untuk mencari tahu, memecahkan masalah, membuat dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan mereka melalui wadah dan bentuk yang paling sesuai dengan kondisi dan kapasitas anak abad 21 yang digital-based.
Oleh karena itu, maka, model pembelajaran yang paling sesuai untuk sekolah abad 21 adalah pembelajar berbasis laptop. Pembelajaran berbasis laptop artinya laptop digunakan sebagai media utama pembelajaran. Agar penggunaannya maksimal, maka perlu ditunjang dengan ketersediaan jaringan internet yang memadai di sekolah. Pembelajaran berbasis laptop yang terintegrasi jaringan internet menuntut penyesuaian peran guru di dalam seluruh proses pembelajaran. Peran guru pada sekolah abad 21 beralih dari menjadi sumber informasi tunggal ke pendamping atau mentor bagi para siswa. Namun mereka tetap diharapkan menjadi model dan pendorong bagi para siswanya dalam mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Itu berarti guru dituntut untuk semakin aktif dan kreatif, menjadi contoh hidup bagi para siswa bagaimana seharusnya menjadi pembelajar lalu kemudian menjadi manusia berilmu itu.
Mengapa Pembelajaran Berbasis Laptop?
Menurut Prensky, para guru pada era digital harus mendengarkan para siswa digital natives. Hal itu sangat penting karena (menurut Prensky) sekolah yang ada saat ini masih tertahan di abad 20, artinya gaya dan caranya dalam menyelenggarakan pendidikan masih bernafaskan suasana pendidikan abad 20, padahal para siswa telah bergerak maju ke abad 21. Pertanyaan Prensky adalah bagaimana sekolah dapat menyesuaikan diri dan memberikan pendidikan yang relevan kepada siswa abad 21 (Prensky, December 2005/January 2006: 8-13)?
Selanjutnya, Prensky menegaskan argumentasinya dengan mengatakan bahwa siswa yang ada di sekolah-sekolah dewasa ini bukanlah “orang dewasa yang masih kanak-kanak”. Artinya, para siswa yang diajarkan oleh guru-guru yang mengenyam pendidikan pada abad 20, tidak sama dengan para guru mereka, kondisi lingkungan hidup mereka pun berbeda. Para siswa yang ada sangat berbeda dari para gurunya. Karena itu, para guru tidak lagi dapat menggunakan pengetahuan abad 20 maupun pelatihan yang telah mereka ikuti sebagai tuntunan untuk membawa para siswa kepada apa yang mereka anggap baik untuk hidupnya.
Berdasarkan lingkungan pertumbuhannya, para siswa yang ada di sekolah-sekolah abad 21 ini merupakan para siswa digital native. Mereka menjadi native speaker teknologi, lancar dalam bahasa digital komputer, video games, dan Internet. Para siswa digital native akan terus berkembang dan berubah sedemikian cepat dan orang dewasa termasuk para gurunya tidak akan mampu untuk mengimbangi. Fenomena kesenjangan antara siswa digital native dan guru digital immigrant tidak bisa dihadapi dengan metode tradisional seperti inservice training, karena hal itu akan sangat sia-sia. Sekolah memerlukan solusi yang radikal. Solusi yang radikal itu misalnya, mengajarkan aljabar secara efektif dengan menggunakan video game. Dengan itu, maka siswa akan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Di lain pihak, guru juga harus benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pendidikan abad 21 yang sedemikian itu.
Kitidak-sesuaian antara bagaimana siswa belajar di satu sisi dan bagaimana guru mengajar di sisi yang lain dapat dipahami ketika orang menyadari bahwa sekolah dewasa ini dirancang untuk dunia pertanian dan manufaktur. Dunia telah berubah dan terus berubah dengan kecepatan yang semakin meningkat. Siswa multi-tasking (siswa digital native menurut Prensky cenderung multi-tasking) yang kita hadapi lebih siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ini dibandingkan dengan banyak orang dewasa.
Peneliti Ian Jukes dan Anita Dosaj mengaitkan ketidak-selarasan antara guru dan siswa abad 21 sebagai akibat dari komunikasi yang kurang antara siswa digital native dengan orang dewasa digital immigrant. Para orang tua dan guru digital immigrant berbicara DSL (digital as a second language) – bahasa digital sebagai bahasa kedua. Artinya mereka tidak sepenuhnya menguasai dan menjadi bagian dari dunia digital sebagaimana anak-anak abad 21 menguasainya. Maka, jelaslah bila terjadi perbedaan antara bagaimana siswa digital belajar dan bagaimana guru non-digital atau digital immigrant mengajar atau menyampaikan pelajaran (http://www.apple.com/au/education/digitalkids/disconnect/landscape.html).
Prensky mencatat beberapa perbedaan fundamental antara para siswa saat ini dengan para guru mereka (Prensky, 2001). Perbedaan-perbedaan itu antara lain: para siswa digital native lebih menyukai proses berpikir paralel (memikirkan beberapa hal sekaligus) dan multi-task (melakukan dua kegiatan atau lebih sekaligus); mereka lebih menyukai untuk melihat gambar atau grafik terlebih dahulu sebelum membaca teks yang tersedia; mereka lebih menyukai random access (hypertext); mereka bekerja dengan baik dalam lingkungan yang tersedia jaringan internet, lebih menyukai permainan daripada pekerjaan yang bersifat lebih “serius”.
Di sisi lain, para guru (digital immigrant) kurang memahami dan menyadari perbedaan ini. Para guru terlalu terikat dengan keterampilan-keterampilan yang telah mereka miliki sejak lama seperti bekerja secara bertahap (step-by-step), pelan, mengerjakan pekerjaan satu demi satu, dan seterusnya. Para guru (juga orang tua) tidak percaya bahwa para siswa dapat belajar dengan baik meskipun mereka melakukannya sambil menonton TV atau mendengarkan musik karena mereka (para guru) tidak dapat dan tidak terbiasa melakukan hal itu. Para guru cenderung memikirkan bahwa cara belajar yang dahulu kala dapat berfungsi atau tepat untuk mereka masih tepat juga untuk para siswa yang mereka didik saat ini. Kesenjangan keterampilan dan pemahaman seperti inilah yang seringkali menjadi penyebab timbulnyan permasalahan di dalam kelas. Banyak siswa akhirnya mogok dan malas belajar karena merasa kurang dihargai dan dipahami oleh para guru mereka.

 

PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA ABAD KE-21

Dari jaman ke jaman, pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Dilihat dari sejarahnya, Pendidikan Indonesia dapat dibagi secara urutan waktu kurang lebih sebagai berikut:
(a) jaman pra-kolonial: masa prasejarah dan masa sejarah,
(b) jaman kolonial ketika sistem pendidikan ‘modern’ dari Eropa diperkenalkan, dan
(c) jaman kemerdekaan RI yang berlangsung hingga sekarang.

Masing-masing jaman memiliki corak dan bentuk tersendiri. Memasuki abad ke-21 sekarang ini, Pendidikan Indonesia dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan peluang, yang tentunya berbeda dengan jaman-jaman sebelumnya. Guna mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung di Abad ke-21 ini.

 

 

Perubahan paradigma pembelajaran pada Abad ke-21 sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

1.
Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa
Jika dahulu biasanya yang terjadi adalah guru berbicara dan siswa mendengar, menyimak, dan menulis – maka saat ini guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi siswa-siswanya.
2.
Dari satu arah menuju interaktif
Jika dahulu mekanisme pembelajaran yang terjadi adalah satu arah dari guru ke siswa, maka saat ini harus terdapat interaksi yang cukup antara guru dan siswa dalam berbagai bentuk komunikasinya. Guru berusaha membuat kelas semenarik mungkin melalui berbagai pendekatan interaksi yang dipersiapkan dan dikelola.
3.
Dari isolasi menuju lingkungan jejaring
Jika dahulu siswa hanya dapat bertanya pada guru dan berguru pada buku yang ada di dalam kelas semata, maka sekarang ini yang bersangkutan dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh via internet.
4.
Dari pasif menuju aktif-menyelidiki
Jika dahulu siswa diminta untuk pasif saja mendengarkan dan menyimak baik-baik apa yang disampaikan gurunya agar mengerti, maka sekarang disarankan agar siswa harus lebih aktif dengan cara memberikan berbagai pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya.
5.
Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata
Jika dahulu contoh-contoh yang diberikan guru kepada siswanya kebanyakan bersifat artifisial, maka saat ini sang guru harus dapat memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari dan relevan dengan bahan yang diajarkan.
6.
Dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim
Jika dahulu proses pembelajaran lebih bersifat personal atau berbasiskan masing-masing individu, maka yang harus dikembangkan saat ini adalah model pembelajaran yang mengedepankan kerjasama antar individu.
7.
Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan
Jika dahulu ilmu atau materi yang diajarkan lebih bersifat umum (semua materi yang dianggap perlu diberikan), maka saat ini harus dipilih benar-benar ilmu atau materi yang benar-benar relevan untuk ditekuni dan diperdalam secara sungguh-sungguh (hanya materi yang relevan bagi kehidupan sang siswa yang diberikan).
8.
Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru
Jika dahulu siswa hanya menggunakan sebagian panca inderanya dalam menangkap materi yang diajarkan guru (mata dan telinga), maka saat ini seluruh panca indera dan komponen jasmani-rohani harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
9.
Dari alat tunggal menuju alat multimedia
Jika dahulu ilmu guru hanya mengandalkan papan tulis untuk mengajar, maka saat ini diharapkan guru dapat menggunakan beranekaragam peralatan dan teknologi pendidikan yang tersedia – baik yang bersifat konvensional maupun moderen.
10.
Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif
Jika dahulu siswa harus selalu setuju dengan pendapat guru dan tidak boleh sama sekali menentangnya, maka saat ini harus ada dialog antar guru dan siswa untuk mencapai kesepakatan bersama.
11.
Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan
Jika dahulu seluruh siswa tanpa kecuali memperoleh bahan atau konten materi yang sama, maka sekarang ini setiap siswa berhak untuk mendapatkan konten sesuai dengan ketertarikan atau keunikan potensi yang dimilikinya.
12.
Dari usaha sadar tunggal menuju jamak
Jika dahulu siswa harus secara seragam mengikuti sebuah cara dalam berproses maka yang harus ditonjolkan saat ini justru adanya keberagaman inisiatif yang timbul dari masing-masing individu.
13.
Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak
Jika dahulu siswa hanya mempelajari sebuah materi atau fenomena dari satu sisi pandang ilmu, maka saat ini konteks pemahaman akan jauh lebih baik dimengerti melalui pendekatan pengetahuan multi disiplin.
14.
Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan
Jika dahulu seluruh kontrol dan kendali kelas ada pada sang guru, maka sekarang ini siswa diberi kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan aktivitasnyamasing-masing.
15.
Dari pemikiran faktual menuju kritis
Jika dahulu hal-hal yang dibahas di dalam kelas lebih bersifat faktual, maka sekarang ini harus dikembangkan pembahasan terhadap berbagai hal yang membutuhkan pemikiran kreatif dan kritis untuk menyelesaikannya.
16.
Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan
Jika dahulu yang terjadi di dalam kelas adalah “pemindahan” ilmu dari guru ke siswa, maka dalam abad moderen ini yang terjadi di kelas adalah pertukaran pengetahuan antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan sesamanya.





REFERESI :
·   http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/07/02/paradigma-pendidikan-indonesia-abad-ke-21/


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Nice kakak

Posting Komentar